Nov 9, 2011

Antara Percaya dan Tahu -- Dialog Haji Agus Salim dengan Sutan Takdir Alisjahbana

Belakangan ini makin mudah dijumpai orang-orang yg tergolong cerdas, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas mulai asyik bersikap sinis terhadap agama, sekali pun itu agama mereka sendiri. Mereka menjadi terlalu percaya diri dengan inteligensia dan kearifan diri mereka sendiri. Logika dan rasio menjadi acuan langkah mereka sehari-hari, termasuk dalam beribadah dan berhubungan dengan Sang Khaliq. Mereka melupakan bahwa keyakinan adalah bukan hanya mendahulukan 'tahu' tapi diawali dengan 'percaya,' atau kurang lebih seperti dibilang Voltaire: 'faith consists in believing when it is beyond the power of reason to believe.'


Unsur 'percaya' yang dipermudah oleh adanya hidayah pelan-pelan tersingkirkan karena menurut mereka tidak memenuhi standar rasio dan logika manusia. Kemudian mereka mulai mempertanyakan ritual-ritual agama mereka sendiri, sekali pun sudah jelas tuntunannya dalam kitab Allah dan sunnah Rasul. Puasa Ramadan pun dikritik, ritual solat pun digugat, qurban pun disarankan untuk diganti dengan yang lebih 'manusiawi' menurut pemikiran mereka. Lalu semua ritual itu pun pelan-pelan mereka tinggalkan.


Setetes kecil tinta yg menempel di jari itu mulai berlagak di hadapan samudera tinta yang mengelilinginya tapi tak nampak di pelupuk matanya. Raga yang tak tahu kapan dia akan tak bernyawa dan berpisah dengan jiwanya itu mulai merasa lebih bijak dengan menafsirkan semua yang sudah tersurat dengan pengetahuan yang pas-pasan, berujung pada kesimpulan bahwa Sang Pencipta pastilah akan menerima semua manusia asalkan kita semua bersikap baik di dunia --- jadi apa gunanya agama dengan berbagai macam ritualnya?


Lakum dinukum waliya din. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tapi begitu aku yakin dengan agamaku aku akan mengutamakan unsur 'percaya' di hadapan semua pengetahuanku.


Ada baiknya kita mengambil pelajaran dari dialog antara dua tokoh bijak dan cerdas di tanah air, Haji Agus Salim dan Sutan Takdir Alisjahbana. Keduanya adalah orang Minang, dan keduanya sangat terpelajar. Salim sendiri waktu itu sudah menjadi orang tua dan sudah pergi haji, selain juga tokoh Islam yang disegani. Sedang Takdir adalah seorang pemuda yang sangat mengagumi pemikiran renaisans Barat, dan kritis terhadap agama. Suatu saat Agus Salim digugat oleh Takdir.


“Saya heran melihat Pak Haji ini, mengapa kok masih sembahyang. Bagi saya sembahyang itu tidak masuk akal,” gugat Takdir.


“Maksud kamu bagaimana?,” tanya Haji Agus Salim.


“Ya, saya tidak mau terima sesuatu yang tidak masuk akal, yang tidak bisa dibuktikan.”


“Oh, begitu. Baik. Kamu kan orang Minang seperti saya, dan sekali-sekali kamu pulang ke Minang, kan?”


“Ya, memangnya kenapa?”


“Nah, kalau pulang kamu naik apa?”


“Naik kapal!”, jawab Takdir (waktu itu belum ada pesawat udara).


“Nah, kamu naik kapal itu sudah tidak konsisten, karena begitu kamu naik ke geladak kapal, maka yang lebih banyak berfungsi itu “percaya”, “bukan tahu”. Percaya bahwa kapal itu pergi ke Padang tidak belok ke Pontianak, percaya bahwa nanti mesinnya tidak macet, percaya bahwa kapal itu tidak pecah, atau karam, pokoknya semuanya percaya. Dan untuk itu semua kamu tidak menunggu sampai paham. Kalau kamu menunggu sampai paham, kamu harus pelajari dulu kapal itu, baru naik kapal, dan itu mustahil!”, kata Agus Salim kepada Takdir. Lalu dia lanjutkan lagi, “Kalau kamu konsisten dengan cara berpikir seperti itu, kalau mudik ke Minang itu harusnya kamu berenang. Dan mekanisme berenang itu belum tentu kamu pahami. Taruhlah kamu paham, nanti berenang menyeberangi Selat Sunda yang di situ terkenal sekali gelombangnya, dan nanti kamu akan diombang-ambingkan oleh gelombang laut. Pada waktu itu kamu perlu pegangan, dalam keadaan putus asa mencari pegangan, ranting pun kamu pegang. Untung kalau ketemu balok yang besar, yang bisa mengambangkan kamu, tapi kalau tidak, ranting pun kamu pegang.”

No comments: