Apr 28, 2008

How Unilever Palm Oil Suppliers Are Burning Up Borneo



Judul yang cukup dramatis dan sensasional di atas adalah laporan terbaru dari Greenpeace yang mereka keluarkan Senin minggu lalu, 21 April. Praktis berita ini langsung bikin gempar di Eropa tempat asal Unilever. Demo dilakukan para aktivis dan masyarakat di kantor-kantor maupun pabrik-pabrik Unilever di berbagai kota di Eropa. Media utama Eropa pun tak ada yang ketinggalan memberitakannya.

Tapi entah karena apa, studi yang seharusnya bakal langsung menarik perhatian pembaca ini lepas dari sorotan media utama Indonesia dan Malaysia. Sebagai gambaran mudahnya laporan ini menarik minat pembaca, laporan tersebut langsung menjadi featured article begitu di-upload ke Scribd dan sampai hari ke 3 sudah mendapat lebih dari 300 views.

Masyarakat di kedua negara yang tentunya setiap harinya tak lepas dari produk-produk Unilever seakan sengaja dibuat buta tuli dengan berita yang meski sebenarnya bukan hal sangat baru lagi namun karena kali ini membawa nama Unilever seharusnya impact-nya lebih terasa. Sudah cukup biasakah kita membaca atau mendengar tentang perusakan hutan tropis serta ekosistem fauna dan penurunan drastis populasi fauna liar dan langka termasuk orang utan sehingga media sebagai perantara fakta dan kebenaran take it for granted dan berita besar pun menjadi tidak layak muat lagi?

Hanya Kompas saja yang langsung memberitakannya di hari laporan itu keluar dengan judul yang juga mencolok, dan langsung juga dibantah kebenarannya oleh PR Unilever, meskipun menurut Greenpeace Unilever mengakui bahwa mereka tidak tahu dari mana 20% asal pasokan minyak kelapa sawit mereka. Media besar lain bungkam seakan hal ini bukan sesuatu yang layak diberitakan. Jakarta Post, TempoInteraktif, Republika, Media Indonesia, Detik..... semua sama saja.

Di Malaysia idem ditto. The New Straits Times tutup mulut, Star hanya memuatnya di berita kecil mengenai standar kelapa sawit 5 hari setelah laporan Greenpeace tersebut keluar. Hanya media berbahasa Melayu, Utusan Malaysia, yang memasang berita ini pada hari yang sama dengan Kompas tapi terkesan ragu dan sembunyi-sembunyi karena isinya tidak membicarakan mengenai isi laporan Greenpeace dan judulnya pun tidak menarik perhatian sama sekali.

Kenapa media di kedua negara ini seakan tidak berani menyiarkan studi yang seharusnya membukakan mata masyarakat tentang parahnya kerusakan hutan di Indonesia serta peran penting perusahaan-perusahaan besar di dalamnya? Sedemikian kuatkah Unilever sampai media Indonesia dan Malaysia sukarela membungkam diri sendiri?

Pembaca sekilas laporan yang sengaja memancing perhatian dengan nama Unilever di judulnya ini --- taktik mencari sensasi yang tidak jarang dipakai oleh Greenpeace terlepas dari aktivitas mereka yang sangat positif dan influential selama ini --- mungkin akan terkecoh dan menerima apa adanya bahwa Unilever-lah dalang semuanya. Pemerhati yang membaca sampai halaman akhir akan menemukan bahwa hal yang lebih besar sebenarnya terletak di kandungan laporan tersebut. Dengan kata lain, bukan Unilever-nya saja yang seharusnya menjadi fokus pembicaraan tetapi lebih dari itu, siapa saja sih para pemasok utama Unilever ini?

Ketujuh pemasok utama ini berdasar share mereka dalam pasar kelapa sawit Indonesia adalah Sinar Mas, Asian Agri, Astra Agro, Sime Darby, ADM-Kuok-Wilmar, Musim Mas, dan IOI. Ketiga terbesar pertama serta Musim Mas adalah raksasa bisnis kelapa sawit Indonesia -- Sinar Mas adalah perusahaan plantation kelapa sawit terbesar di Indonesia. Asian Agri adalah anak perusahaan Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto. Sime Darby dan IOI adalah dua dari konglomerat terbesar di Malaysia --- Sime Darby adalah perusahaan plantation kelapa sawit terbesar di dunia! ADM-Kuok-Wilmar adalah kongsi perusahaan besar Amerika, Malaysia dan Singapura.

Sekali kita tahu siapa di belakang pasokan Unilever ini, nama Unilever menjadi berkurang signifikansinya karena raksasa-raksasa ini juga memasok ke Nestle, Carrefour, P&G, dll. Sebagian pasokan ini disalurkan lewat Cargill, trader kelapa sawit besar yang merupakan privately-owned company terbesar di dunia.

So, benarkah media Indonesia dan Malaysia sembunyi dari laporan ini karena nama besar para godzilla ini (dan apa pun bentuk implikasi yang muncul dari nama besar ini...)? Wallahualam... Mungkin benar kata pepatah... it requires a very unusual mind to undertake the analysis of the obvious...

Apr 18, 2008

This Blog's Reading Level

While blogwalking, I found that enough buzz has been created around a simple blog test and people have jumped to try it to check out their blogs' readability level --- what level of education is needed to understand their blogs...

I had nothing to lose to try it and not too surprised to get the following result:

blog readability test

So, is it good or bad? Frankly, I had expected much below high school reading level. I am hoping whoever can read is able to digest easily what I write. I am sure I never use English words only those spelling bees have ever heard or tenses I only memorized for school exams years ago...

I tried out several samples and was feeling good that the same reading level was required to read Jakarta Post or NY Times for example. I should even be feeling much better to see that it takes a genius to read the English version of Tempo Interaktif. But then I realized that it even gave a rating for non-existing sites. So, don't take this tool too seriously...

If you want more comprehensive test for your blogs, try WebsiteGrader from HubSpot. This free SEO tool site measures the marketing effectiveness of a website, including its readibility level. To my delight, out of a grade of only 56/100 that I get for my blog, my blog's readibility level is merely elementary school level..! That's consistent with its G rating as well. For me, it can't be better than this...