Nov 19, 2011

Bentley dan Keranda Besi



Bentley. Humvee. Ferrari.

Hebat sekali anggota-anggota dewan kita ini. Semuanya ada tak terkecuali, apalagi kok 'cuma' Mercy. Jangan tanya kalau hanya sekedar Harley. Dua tiga model terbaru berjejer rapi di garasi.

'Please deh jangan usik gaya hidup kami. Kalau memang bawaan kami dari dulu kaya, mau apa lagi? Kalau sudah dari asalnya perlente, apa kami mesti mendekilkan diri? Jangan suruh kami berpenampilan pura-pura miskin sehari-sehari. Itu tak sesuai dengan jiwa kami. Tolong dong orang miskin jangan sirik sekali. Ketua KPK juga kenapa nggak ngurusin diri sendiri?' Ujar si 'wakil rakyat' berapi-api penuh arogansi.

Ya Allah ya Gusti. Kutahu Kau benci orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan mendongakkan dagu dan meninggikan hati. Ampunilah aku bila dalam keputusasaan aku sering berharap malaikat maut menjemput lebih cepat lagi mereka yang angkuh tak tahu menempatkan diri ini. Saat semua Bentley, Humvee dan Ferrari tak mampu memberi kenyamanan mereka lagi.

Saat kendaraan terbaik yang bisa membawa mereka hanya sebuah keranda besi. Lebih bagus sedikit keranda jati. Tapi tetap saja sempit, panas dan tak seanggun Bentley, segarang Humvee, atau sekencang sebuah Ferrari.

Saat seandainya mereka bisa bicara lagi, mereka akan meminta berlama-lama di dalamnya sepanjang memungkinkan sekali, sambil ditandu belasan kerabat dan famili.

Karna begitu jasad mereka diturunkan ke liang lahat penantian ke alam abadi, dan tanah dikuburkan di atasnya serta doa-doa diiringi tangis keluarga menghilang sayup-sayup ditelan gerak langkah kaki-kaki menjauhi, tak ada yang bisa dilakukan siapa pun juga lagi. Hanya sepi menemani, sendiri. Sempit dan makin menghimpit, panas menyiksa, lama sekali rasanya waktu berdetak dikala sakit mulai menyapa tak henti-henti di tengah gelap menghantui.

'Ya Tuhan, aku tak tahan siksaan ini sakit sekali. Kemanakah amal-amalku yang akan menemaniku di sini? Kemana mereka pergi?'

Kami, rakyat yang telah kau khianati, akan membantu menjawabmu kali ini: 'Tanyakan pada kamu punya Bentley, Humvee, dan Ferrari.'


Nov 9, 2011

Antara Percaya dan Tahu -- Dialog Haji Agus Salim dengan Sutan Takdir Alisjahbana

Belakangan ini makin mudah dijumpai orang-orang yg tergolong cerdas, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas mulai asyik bersikap sinis terhadap agama, sekali pun itu agama mereka sendiri. Mereka menjadi terlalu percaya diri dengan inteligensia dan kearifan diri mereka sendiri. Logika dan rasio menjadi acuan langkah mereka sehari-hari, termasuk dalam beribadah dan berhubungan dengan Sang Khaliq. Mereka melupakan bahwa keyakinan adalah bukan hanya mendahulukan 'tahu' tapi diawali dengan 'percaya,' atau kurang lebih seperti dibilang Voltaire: 'faith consists in believing when it is beyond the power of reason to believe.'


Unsur 'percaya' yang dipermudah oleh adanya hidayah pelan-pelan tersingkirkan karena menurut mereka tidak memenuhi standar rasio dan logika manusia. Kemudian mereka mulai mempertanyakan ritual-ritual agama mereka sendiri, sekali pun sudah jelas tuntunannya dalam kitab Allah dan sunnah Rasul. Puasa Ramadan pun dikritik, ritual solat pun digugat, qurban pun disarankan untuk diganti dengan yang lebih 'manusiawi' menurut pemikiran mereka. Lalu semua ritual itu pun pelan-pelan mereka tinggalkan.


Setetes kecil tinta yg menempel di jari itu mulai berlagak di hadapan samudera tinta yang mengelilinginya tapi tak nampak di pelupuk matanya. Raga yang tak tahu kapan dia akan tak bernyawa dan berpisah dengan jiwanya itu mulai merasa lebih bijak dengan menafsirkan semua yang sudah tersurat dengan pengetahuan yang pas-pasan, berujung pada kesimpulan bahwa Sang Pencipta pastilah akan menerima semua manusia asalkan kita semua bersikap baik di dunia --- jadi apa gunanya agama dengan berbagai macam ritualnya?


Lakum dinukum waliya din. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tapi begitu aku yakin dengan agamaku aku akan mengutamakan unsur 'percaya' di hadapan semua pengetahuanku.


Ada baiknya kita mengambil pelajaran dari dialog antara dua tokoh bijak dan cerdas di tanah air, Haji Agus Salim dan Sutan Takdir Alisjahbana. Keduanya adalah orang Minang, dan keduanya sangat terpelajar. Salim sendiri waktu itu sudah menjadi orang tua dan sudah pergi haji, selain juga tokoh Islam yang disegani. Sedang Takdir adalah seorang pemuda yang sangat mengagumi pemikiran renaisans Barat, dan kritis terhadap agama. Suatu saat Agus Salim digugat oleh Takdir.


“Saya heran melihat Pak Haji ini, mengapa kok masih sembahyang. Bagi saya sembahyang itu tidak masuk akal,” gugat Takdir.


“Maksud kamu bagaimana?,” tanya Haji Agus Salim.


“Ya, saya tidak mau terima sesuatu yang tidak masuk akal, yang tidak bisa dibuktikan.”


“Oh, begitu. Baik. Kamu kan orang Minang seperti saya, dan sekali-sekali kamu pulang ke Minang, kan?”


“Ya, memangnya kenapa?”


“Nah, kalau pulang kamu naik apa?”


“Naik kapal!”, jawab Takdir (waktu itu belum ada pesawat udara).


“Nah, kamu naik kapal itu sudah tidak konsisten, karena begitu kamu naik ke geladak kapal, maka yang lebih banyak berfungsi itu “percaya”, “bukan tahu”. Percaya bahwa kapal itu pergi ke Padang tidak belok ke Pontianak, percaya bahwa nanti mesinnya tidak macet, percaya bahwa kapal itu tidak pecah, atau karam, pokoknya semuanya percaya. Dan untuk itu semua kamu tidak menunggu sampai paham. Kalau kamu menunggu sampai paham, kamu harus pelajari dulu kapal itu, baru naik kapal, dan itu mustahil!”, kata Agus Salim kepada Takdir. Lalu dia lanjutkan lagi, “Kalau kamu konsisten dengan cara berpikir seperti itu, kalau mudik ke Minang itu harusnya kamu berenang. Dan mekanisme berenang itu belum tentu kamu pahami. Taruhlah kamu paham, nanti berenang menyeberangi Selat Sunda yang di situ terkenal sekali gelombangnya, dan nanti kamu akan diombang-ambingkan oleh gelombang laut. Pada waktu itu kamu perlu pegangan, dalam keadaan putus asa mencari pegangan, ranting pun kamu pegang. Untung kalau ketemu balok yang besar, yang bisa mengambangkan kamu, tapi kalau tidak, ranting pun kamu pegang.”