Oct 15, 2007

Illogical Logic (Tentang 'Rasa Sayange')

Gambang Suling. Soleram. Apuse. Ampar-ampar Pisang. Bubuy Bulan. Gundhul Pacul. Manuk Dadali. Sing Sing So. Tanduk Majeng. Yamko Rambe Yamko. Butet.

Siapa yang tak kenal mereka? Itu semua hanya sebagian kecil dari banyak sekali lagu daerah yang sangat familiar di telinga kita, termasuk tentu saja Rasa Sayange yang sekarang jadi hit antarbangsa Indonesia - Malaysia. Kalau pun kita tak hafal lirik mereka, tune-nya tak akan pernah lepas dari ingatan kita. Indahnya lahir dan besar di negara yang kaya budaya seperti Indonesia...

But wait.... Jangan heran kalau menyusul saudara mereka Rasa Sayange, lagu-lagu tersebut mungkin akan bisa ditemui di iklan Petronas, AirAsia dan perusahaan-perusahaan Malaysia lainnya. Wow... kok bisa?

Sabar, jangan keburu emosi... it takes a HUGE IF untuk bisa terjadi... yaitu kalau saudara-saudara kita di Malaysia berpikiran dan berlogika deduktif induktif yang sama dengan M. Veera Pandiyan, penulis aktif dan editor salah satu media Malaysia yang biasanya cukup cerdas dalam tulisan-tulisannya... But not this time...

Dalam tulisannya di koran terbesar di Malaysia, The Star, tersebut, Veera menunjukkan kalau dia perlu refresher course Logics 101. See below kutipan dari tulisannya:

But most Indonesians don’t realise that Malays, who make up the majority of Malaysians in the peninsula, are not “Malay” as in the context of people from the Riau province on the eastern side of Sumatra, which include Batam, Bintan and some 3,200 other islands.

Not many also know that under our Constitution, a Malay is a political rather than ethnic definition – a person who practises the customs and culture of the Malays, speaks the language and is a Muslim.

So, based on ethnic considerations, the majority of Malaysians are in essence Javanese, Bugis, Banjarese, Acehnese, Minangkabaus, Bataks, Makarese, Malukus, Sunda, Bawean, in addition to the Malays from the Riau region.

The roots of these diverse groups are so deep that the languages, dialects and patois are still spoken in enclaves.

So, is it really such a big deal if they consider their ancient folk songs as part of a shared heritage?

So, bersiap-siaplah penggemar dan pemilik lagu-lagu daerah-daerah yang sudah disebut Veera di atas... Menurut Veera adalah sah-sah aja mengklaim kepemilikan bersama lagu-lagu daerah tersebut
dan bahkan menggunakannya untuk iklan komersial perusahaan-perusahaan Malaysia karena nenek moyang Malaysia kan juga berasal dari suku-suku di Indonesia... Ok, paling tidak Yamko Rambe Yamko boleh merasa aman karena orang-orang Irian nggak pernah make up majority of Malaysians...:-)

Seandainya logika ngawur ini dituruti, bukan hanya lagu-lagu daerah Indonesia yang aman dari klaim tetangga dekat kita ini... Nantinya makanan dan minuman daerah dari mulai rendang, gudeg, ketoprak, empek-empek, bandrek, dll dengan mudah bisa diklaim sharing kepemilikannya dengan tetangga serumpun ini... Belum lagi pakaian daerah, alat musik (misalnya angklung sudah mulai ditampilkan dengan bangganya di salah satu lokasi turis utama di KL seakan milik mereka...), musik daerah juga, tarian daerah, dan masih banyak lagi pernik-pernik budaya luhur kita...

Mudah-mudahan saudara-saudara kita di Malaysia tidak sengawur Veera dalam bernalar...

Seakan masih belum puas dengan pembelaan dirinya soal Rasa Sayange, Veera lebih jauh lagi menyerang Indonesia dengan argumentasinya mengenai pemakaian simbol-simbol Hindu dalam kehidupan sehari-hari di tanah air:
For example, would it be fair to argue that many aspects of Indonesia's heritage – like its ever-present symbol of Garuda, the imposing statues of Ganesha or Bhima which stand outside buildings, or the majestic sculpture of horses pulling Arjuna’s chariot in the middle of Jakarta – belong to Hinduism and India?
Mungkin kita perlu menyadarkan beliau bahwa berbeda dengan kasus Rasa Sayange, kita tidak pernah mengklaim ownership terhadap Ganesha, Bima, Garuda, Arjuna, dll itu... Bahkan kita tidak pernah meng-hak-i kepemilikan bersama simbol-simbol tersebut berdasar asal usul nenek moyang kita... Kita tetap dengan gentleman menyebutkan asal-usul mereka dari budaya Hindu atau India... Veera, just look into the Indonesian school textbooks before you ever make such an erroneous and misleading statement.... And please never try to impose superiority on your writings by putting the following line:
Just how would Indonesians feel if they were accused of “stealing” from India’s much richer cultural heritage? (emphasis from me...)
Mungkin Veera perlu kursus singkat mengenai cultural study atau antropologi... adalah tabu membandingkan keluhuran budaya satu bangsa dengan bangsa lainnya, selain juga nggak ada metrics-nya, dan tidak sepantasnya seorang penulis profesional mengangkat hal ini...

Veera, I know that as an Indian you are very proud of your culture... But how far do you know about Indonesian cultural heritage aside from its Indian influences and symbols? And how do you measure a culture's 'quality' and richness in comparison to the others? All Indonesians admired Indian arts and cultures. They are undoubtedly among the finest on earth... but you should know that even a bit of arrogance and too much of self-pride will only spread taints on it instead of elevating it as a culture is created by and reflection of the people who live through, preserve and protect it...

4 comments:

Anonymous said...

Saya sependapat dengan anda pak... Saya sendiri juga merasa sedih dan "gemes" melihat satu demi satu asset bangsa kita "dicuri" oleh bangsa lain. Tempe, tahu, pencak silat, dan sekarang lagu daerah. Saya sedih dengan fenomena tersebut. Padahal sebenarnya klaim paten, hak cipta, merek atas lagu2 ciptaan, slogan, logo, lambang, tari2an dan bahkan bentuk2 kebudayaan lainnya tidak sulit. Yang kurang hanyalah "awareness" bangsa kita dan bahkan pemerintah kita akan pentingnya hal itu. Secara umum, di Indonesia jika anda akan mengklaim terhadap salah satu bentuk HAKI, cukup anda membawa barang tersebut dan tergantung, apakah itu anda daftarkan sebagai penemuan baru, apakah berupa resep atau suatu teknologi, ataukah logo (symbol) ataukah suatu jenis HAKI lainnya. Kemudian mereka akan mengecek dulu apakah tentang hal tersebut sudah pernah didaftarkan patennya atau belum. Jika belum, anda akan mendapatkan nomor daftar. Selama 1 tahun mereka akan mengklarifikasikan hal tersebut, dan apabila ternyata "clean", mereka akan memberikan serifikat paten kepada anda.
Tidak sulit, dan juga tidak mahal.
Namun pendapat saya, untuk kebudayaan seperti lagu2, tari2an, pencak silat, makanan, masakan dll harusnya ditangani dan didaftarkan oleh pemerintah. Mungkin setelah melihat begitu banyaknya kasus2 "pencurian" tersebut, pemerintah akan semakin sadar akan pentingnya mengklaim hasil2 asli daerah Indonesia di dunia internasional. Tapi kalau tidak,... ya.. siap2 aja bangsa kita cuma jadi bangsa kuli.
tulisannya bagus sekali pak... bikin saya jadi semakin nasionalis. Terus berkarya ya pak...

isnan said...

mas Arief memang kepemilikan menjadi issue penting di zaman libertarian ini, dulu para ulama mengijinkan pembuatan kutipan dan bahkan terjemahan asal sesuai dengan aslinya dengan semangat untuk menyebarkan paham atau ajaran seluas-luasnya.....tetapi yang terjadi sekarang penyebaran tetap terjadi hanya diikat dengan ownership sebagai jargon dari kompetisi antar individu yang akan menimbulkan kreativitas.....kalau itu dijalani secara fair tidak apa-apa...hanya kalau sekedar dulu-duluan mengkaim atau membentuk opini atau membangun logika-logika untuk pembenaran klaim tersebut.....ada dua pihak yang harus dikasihani....yaitu pihak Malaysia yang tega-teganya mengklaim itu miliknya....dan pihak Indonesia yang kurang menghargai karya anak bangsanya...sehingga klop muncul masalah yang demikian...kampanye kita adalah mari kita hargai karya cipta kita sendiri....kalau tidak bisa mencipta, maka hargai karya cipta orang lain.....

Arief Budiwidayanto said...

bu irma, thanks atas comments nya yang supportif. i would appreciate kalo anda angkat tema mengenai paten dan hak cipta ini di website anda yang edukatif.

Arief Budiwidayanto said...

mas isnan, ini susahnya jadi negara yang kaya budaya. begitu banyak yang mesti dijaga sementara resources kita kurang... di lain pihak mungkin Malaysia bisa mencontoh Suriname yang meski nenek moyang mereka berasal dari Jawa tapi tidak pernah mengklaim budaya Jawa sebagai milik bersama Suriname...